Sepasang Hati di Bawah Hujan
Hujan turun dengan deras di kota kecil itu, menari di atas genting rumah-rumah dan membasahi jalanan yang lengang. Rinai hujan seperti melodi yang menenangkan hati, membawa kenangan dan harapan bagi mereka yang merasakannya. Di sebuah kafe kecil di sudut jalan, seorang gadis duduk sendirian di dekat jendela besar yang dipenuhi embun. Ia menatap ke luar dengan tatapan kosong, sementara jemarinya menggenggam cangkir kopi yang mulai mendingin.
Namanya Alya. Hatinya dipenuhi perasaan yang sulit dijelaskan. Ia datang ke kafe itu setiap kali hujan turun, seolah berharap sesuatu yang pernah hilang akan kembali. Sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang—Reza. Lelaki yang dulu sering menemaninya duduk di tempat itu, berbagi cerita dan tawa, sebelum akhirnya pergi meninggalkan jejak yang tak mudah terhapus oleh waktu.
Alya menarik napas panjang. Ia berusaha menghapus bayangan tentang Reza dari pikirannya. Namun, takdir seakan ingin mempermainkannya. Saat ia hendak menyeruput kopinya, suara langkah kaki yang familiar terdengar mendekat. Ia menoleh, dan di balik kaca yang sedikit buram oleh embun, tampak seorang pria berdiri di bawah rintik hujan, dengan jaket hitam yang dikenalnya begitu baik.
Reza.
Hati Alya berdegup lebih cepat. Pria itu berdiri di sana dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan—antara rindu dan keraguan. Setelah sekian lama, setelah banyak pertanyaan yang tak pernah mendapat jawaban, mereka kembali bertemu di bawah hujan yang sama.
Tanpa sadar, Alya bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Hujan menyambutnya dengan dingin, tapi hatinya justru terasa hangat. Reza menatapnya, lalu tersenyum kecil.
"Alya... kamu masih suka hujan rupanya."
Alya menggigit bibirnya, menahan gejolak di dadanya. "Dan kamu masih suka terlambat datang."
Reza tertawa pelan, suara yang dulu selalu berhasil membuat Alya merasa nyaman. "Aku tidak terlambat. Aku hanya menunggu waktu yang tepat."
Alya menghela napas. "Dan kapan waktu yang tepat itu?"
Reza menatap dalam ke matanya. "Mungkin sekarang. Kalau kamu masih mau mendengar alasanku."
Hati Alya berperang dengan dirinya sendiri. Ia ingin marah, ingin menyalahkan Reza karena menghilang tanpa jejak, tapi di saat yang sama, ia juga ingin tahu jawabannya. Dengan sedikit ragu, ia mengangguk. "Baiklah. Aku mendengar."
Mereka berjalan ke bawah kanopi toko di sebelah kafe. Reza mengusap rambutnya yang basah, lalu menghela napas sebelum mulai berbicara. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Alya. Tapi karena aku harus. Waktu itu, aku mendapat tawaran kerja di luar negeri yang terlalu berharga untuk ditolak. Aku ingin memberitahumu, tapi aku takut kamu akan membujukku untuk tetap tinggal. Dan aku... aku pengecut. Aku tidak bisa melihatmu kecewa."
Alya merasakan dadanya menghangat oleh campuran emosi. "Kenapa kamu tidak memberi tahu aku? Setidaknya aku bisa mengerti, bukannya menunggu tanpa kepastian."
"Aku tahu aku salah," kata Reza lirih. "Aku menyesal, Alya. Setiap hari aku memikirkanmu, berharap bisa kembali ke sini dan menjelaskan semuanya. Tapi aku takut... takut kamu sudah melupakan aku, atau lebih buruk lagi, membenciku."
Alya mengamati pria di depannya. Reza yang ia kenal adalah seseorang yang selalu tampak percaya diri dan kuat, tapi malam ini, di bawah rinai hujan, ia terlihat rapuh. "Aku tidak pernah membencimu, Reza. Aku hanya kecewa."
Reza tersenyum tipis, lalu merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah cincin kecil berkilauan di telapak tangannya. "Aku membawa ini sejak lama. Aku ingin memberikannya padamu sebelum aku pergi, tapi aku takut. Sekarang aku tahu, aku tidak boleh takut lagi. Alya, aku mencintaimu. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Jika kamu masih memberiku kesempatan, maukah kamu memulainya lagi denganku?"
Alya menatap cincin itu, lalu kembali menatap mata Reza. Hujan semakin deras, tapi ia merasa hangat. "Aku tidak tahu apakah aku bisa langsung mempercayaimu lagi, Reza. Tapi... mungkin kita bisa mencoba lagi."
Reza mengangguk, tersenyum penuh harapan. "Itu sudah lebih dari cukup untukku."
Hujan terus turun, membasahi kota kecil itu. Namun, bagi mereka berdua, hujan malam itu bukan sekadar rintik air yang jatuh dari langit. Hujan itu adalah awal yang baru—kesempatan kedua untuk cinta yang belum usai.
Post a Comment for "Sepasang Hati di Bawah Hujan"