Rindu yang Tak Terucap
Di sebuah kota yang ramai, di tengah segala hiruk pikuk kehidupan, ada satu hati yang terdiam. Seorang wanita muda bernama Maya, dengan mata yang penuh cerita, sering kali terlihat menyendiri di sudut kafe kecil di ujung jalan. Setiap hari, ia datang ke tempat itu, duduk di meja yang sama, menghadap ke jendela besar yang memandang keluar ke jalanan yang penuh orang berlalu-lalang. Maya selalu datang tepat pukul lima sore, saat langit mulai merona dengan warna jingga yang indah.
Di depannya, sebuah cangkir kopi hangat selalu tersaji, meski tak pernah habis ia sentuh. Tangan-tangannya sibuk mengaduk kopi itu, perlahan, seolah mencari kata-kata yang tak pernah bisa ia ucapkan. Ada sesuatu yang membuatnya terhenti setiap kali ia ingin berbicara, seperti ada sesuatu yang terpendam dalam dadanya, sesuatu yang tak bisa ia keluarkan.
Rindu.
Rindu yang tak terucap.
Di luar jendela, Maya melihat sekelompok orang berbicara dan tertawa bersama. Ada yang berlari mengejar waktu, ada yang berjalan santai, ada juga yang berhenti untuk berfoto bersama. Namun, hatinya kosong. Bukan karena ia tidak ingin bersama mereka, tetapi karena pikirannya selalu kembali pada satu orang yang sudah lama tak terlihat.
Adrian.
Adrian adalah pria yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa dan kebahagiaan. Mereka bertemu saat mereka masih kuliah, di kampus yang sederhana namun penuh kenangan. Ada sesuatu yang berbeda tentang Adrian, sesuatu yang membuat Maya merasa nyaman, seperti mereka sudah saling mengenal sejak lama. Mereka berbagi cerita, berbagi mimpi, dan berbagi rindu yang tak terucap. Tapi waktu selalu punya cara untuk merubah segalanya.
Setelah lulus, Adrian memilih untuk melanjutkan hidupnya ke kota lain, mengejar impian yang lebih besar. Mereka berjanji untuk tetap berhubungan, namun seiring berjalannya waktu, pesan-pesan mereka mulai jarang. Tentu saja, Maya mengerti. Adrian sibuk dengan hidup barunya, dan Maya pun harus berhadapan dengan kehidupannya sendiri. Namun, jauh di dalam hatinya, ada ruang yang kosong, ruang yang hanya bisa diisi oleh seseorang yang sudah lama pergi.
Hari-hari berlalu tanpa kabar, dan Maya semakin terbiasa dengan kesendirian yang tiba-tiba datang. Dia belajar untuk menerima kenyataan bahwa terkadang, orang-orang yang kita sayang tidak selalu bisa tetap berada di sisi kita. Namun, di setiap sudut kehidupannya, ada satu nama yang selalu menghantui pikirannya—Adrian.
Pada suatu sore yang cerah, Maya kembali duduk di meja yang sama di kafe, menatap kosong ke luar jendela. Tiba-tiba, suara bel pintu kafe berbunyi, dan Maya menoleh. Seorang pria masuk, mengenakan jaket biru tua dan topi, seakan berusaha menyembunyikan dirinya. Maya terdiam. Hatinya berdebar-debar. Pria itu... adalah Adrian.
Adrian terlihat kaget saat melihat Maya di sana. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua kenangan tentang masa lalu kembali mengalir deras dalam ingatan Maya. Dia berdiri, namun tidak tahu apa yang harus dikatakan. Begitu banyak kata yang ingin diucapkan, namun semuanya terasa seperti tersangkut di tenggorokan.
Adrian melangkah mendekat, wajahnya sedikit cemas. "Maya... kamu di sini?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh dengan tanda tanya.
Maya hanya mengangguk. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya terasa kaku. Rindu yang begitu lama terpendam akhirnya muncul, namun tidak dalam bentuk kata-kata. Hanya ada hening yang mengisi ruang antara mereka. Seperti ada tembok tak kasat mata yang menghalangi mereka untuk kembali seperti dulu.
Adrian duduk di seberang Maya, namun tidak berbicara lebih lanjut. Mereka hanya saling menatap, dan dalam tatapan itu, ada ribuan kata yang tak terucap. Ada tanya, ada harap, ada rindu yang sangat dalam. Maya merasa hatinya terhimpit, namun juga sedikit lega. Setidaknya, kini Adrian ada di depannya, meski tak bisa mereka kembali seperti dulu.
"Aku... aku kangen kamu," Maya akhirnya mengatakannya, suaranya pelan, hampir berbisik.
Adrian menatapnya dengan tatapan lembut, "Aku juga, Maya. Aku juga kangen."
Namun, kata-kata itu terasa begitu terlambat. Semua yang terpendam bertahun-tahun lamanya kini hadir, namun datang terlambat. Adrian kini memiliki hidup yang berbeda, dan Maya juga sudah belajar untuk melanjutkan hidupnya meski tanpa kehadirannya. Mereka berdua, meskipun sama-sama merindukan satu sama lain, tahu bahwa terkadang rindu tak selalu bisa terwujudkan.
Adrian tersenyum pahit. "Maya, hidup membawa kita ke jalan yang berbeda. Aku tidak bisa kembali seperti dulu. Aku harap kamu mengerti."
Maya menundukkan kepala. Ada perasaan kosong yang melanda dadanya, namun ia tahu, rindu yang tak terucap memang terkadang hanya bisa disimpan dalam hati, tak perlu dilanjutkan dengan kata-kata.
Seiring berjalannya waktu, mereka berdua berbicara sedikit lebih banyak tentang kehidupan masing-masing, meskipun di antara mereka ada jarak yang tak terkatakan. Akhirnya, saat matahari mulai tenggelam, Adrian pamit, meninggalkan kafe dengan langkah yang pelan. Maya hanya mengangguk, menatap kepergiannya.
Setelah Adrian pergi, Maya duduk lagi di kursinya, menatap keluar jendela. Langit yang memerah kembali, sama seperti hari itu ketika mereka pertama kali bertemu. Rindu itu tidak lagi terasa menyakitkan. Sebab, terkadang, rindu memang hanya perlu disimpan dalam diam, tanpa perlu diungkapkan. Sebab dalam diam itu, ada kedamaian yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Dan di tepi hati Maya, rindu itu tetap ada, seperti langit yang selalu ada meski matahari terbenam. Rindu yang tak terucap, namun tetap hadir, seperti sebuah kenangan yang tak akan pernah pudar.
Post a Comment for "Rindu yang Tak Terucap"