Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Melodi Cinta di Bawah Purnama



Suasana malam itu tenang, hanya terdengar suara angin yang berbisik lembut, membawa kesejukan setelah hujan sore tadi. Di sebuah taman kota, sebuah bangku panjang terletak di bawah pohon besar, tempat yang biasa ditempati oleh pasangan-pasangan yang ingin menikmati malam. Di bangku itu duduk seorang wanita muda bernama Laras, yang tengah memandangi langit malam yang diterangi purnama.

Laras selalu merasa tenang setiap kali memandang bulan. Seolah ada sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan alam semesta. Hanya bulan yang bisa memahami kesendiriannya, pikirnya. Meski dikelilingi banyak orang, Laras merasa sepi. Ia baru saja mengakhiri hubungan yang tidak pernah dia inginkan untuk berakhir, dan hati yang terluka itu masih terasa perih.

Laras menatap jam tangannya, sudah hampir tengah malam. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Laras menoleh, dan matanya bertemu dengan sepasang mata yang cukup akrab baginya. Pria itu adalah Arga, sahabat lama yang sudah lama tidak ia temui. Arga, yang selalu menjadi pendengar yang baik, yang selalu ada ketika ia butuh tempat untuk berbicara.

"Lar, apa yang kamu lakukan di sini tengah malam?" tanya Arga dengan nada prihatin sambil duduk di samping Laras.

"Aku hanya ingin sedikit sendiri, menenangkan diri," jawab Laras sambil tersenyum lemah. "Kadang, malam adalah waktu terbaik untuk merasakan ketenangan."

Arga mengangguk. "Aku mengerti. Tapi, kamu tahu, kamu tidak perlu melakukannya sendirian."

Laras menundukkan kepala, berusaha menahan air matanya. "Aku sudah terlalu sering sendirian, Arga. Mungkin aku terbiasa."

"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri," kata Arga dengan lembut. "Kamu selalu bisa berbagi apa yang kamu rasakan."

Laras menatapnya, dan ada kehangatan yang tiba-tiba datang dari dalam hatinya. Sudah lama rasanya ia tidak berbicara dengan seseorang seperti ini. Dengan Arga, ia merasa ada tempat untuk bersandar, ada seseorang yang tidak akan meninggalkannya.

"Arga," kata Laras perlahan, "kenapa kita selalu harus terpisah? Kenapa kita hanya bertemu di saat-saat seperti ini?"

Arga terdiam. Matanya menatap langit malam, seolah berpikir untuk beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. "Aku juga tidak tahu, Lar. Tapi aku tahu satu hal. Kamu tidak perlu merasa sendirian. Selalu ada aku di sini."

Laras tertegun. Kalimat itu sangat sederhana, namun begitu penuh makna. Seolah semuanya kembali jelas di matanya. Dalam keheningan yang tercipta, Arga menggenggam tangan Laras, menawarkan kenyamanan yang sudah lama ia dambakan.

"Aku... aku ingin kamu tahu bahwa kamu sangat berarti bagi aku, Lar. Mungkin selama ini aku tidak pernah mengungkapkannya dengan jelas, tapi aku selalu ada untukmu."

Laras menatapnya, hati yang semula merasa hampa kini mulai dipenuhi dengan perasaan yang tak terungkapkan. Ia memandang Arga dengan tatapan penuh pertanyaan. "Tapi, Arga... kita sudah lama saling mengenal. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk membuka hati lagi."

"Jangan buru-buru, Lar," jawab Arga, "Cinta itu bukan tentang kesiapan atau waktu yang tepat. Cinta datang dengan cara yang tidak kita sangka-sangka, seperti malam yang datang perlahan-lahan dan tak bisa dihentikan. Jika kamu percaya pada perasaanmu, aku akan ada di sini menunggumu."

Laras merasa ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam dirinya, perasaan yang sejak lama ia pendam. Ia merasa ada harapan yang muncul kembali. Namun, ia ragu. Apakah ini benar? Apakah ia sudah siap untuk menerima cinta lagi setelah semua yang telah terjadi?

"Arga," Laras memulai, suaranya hampir berbisik, "aku takut jika aku memberi hatiku lagi, aku akan terluka."

Arga memandang Laras dengan tatapan penuh pengertian. "Laras, cinta itu bukan tentang tidak terluka. Cinta itu tentang keberanian untuk merasakan, meskipun kadang kita harus menghadapi rasa sakit. Tapi percaya padaku, aku akan selalu ada untuk menjaga hati kamu."

Laras menunduk, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Arga. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai percaya. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tapi ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ini adalah kesempatan untuk memulai lagi. Untuk membuka hatinya, meski dengan segala ketakutannya.

"Tapi... jika aku mulai merasakan cinta itu lagi, bagaimana jika aku kecewa?" tanya Laras, suara hatinya penuh kebimbangan.

Arga tersenyum lembut, seolah tahu apa yang ada di dalam pikiran Laras. "Kekecewaan adalah bagian dari hidup. Tapi kita tidak bisa membiarkan rasa takut itu menghentikan kita untuk mencintai. Cinta itu seperti lagu. Terkadang melodi itu indah, terkadang juga penuh dengan nada-nada yang disesuaikan dengan perasaan. Tapi yang penting adalah kita terus memainkan lagu itu, meski ada saat-saat yang tak terduga."

Laras menatap Arga dengan penuh rasa terima kasih. Perasaan itu, yang sudah lama ia pendam, kini mulai mekar kembali. Ia merasa diberi kesempatan kedua, dan mungkin kali ini ia siap untuk membuka hatinya.

"Mungkin aku perlu waktu, Arga," kata Laras, "Tapi aku ingin mencoba."

"Dan aku akan menunggumu, Lar," jawab Arga dengan senyum yang penuh keyakinan. "Kita akan bersama-sama menjalani perjalanan ini."

Langit malam yang diterangi purnama menjadi saksi bisu bagi dua hati yang mulai berani merangkai cerita baru. Tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan lancar, tetapi pada malam itu, Laras tahu satu hal—ia tidak lagi harus merasa sendiri. Ada seseorang yang siap berjalan bersamanya, menanti setiap langkah yang ia ambil. Dengan hati yang terbuka dan penuh harapan, mereka berdua memulai perjalanan mereka di bawah sinar purnama yang indah, seiring dengan melodi cinta yang perlahan mengalun dalam hidup mereka.

Post a Comment for "Melodi Cinta di Bawah Purnama"