Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hujan di Antara Kita



Langit di sore itu kelabu. Awan hitam menggantung berat, seolah menahan jutaan tetes hujan yang siap jatuh kapan saja. Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Nayla duduk di dekat jendela besar, memandangi trotoar yang mulai basah oleh rintik hujan. Tangan kirinya memegang cangkir kopi yang uapnya mulai menghilang, sementara tangan kanannya menopang dagu.

Kafe itu selalu menjadi tempat pelariannya. Tempat di mana ia bisa merenung tanpa terganggu oleh hiruk pikuk kehidupan luar. Namun, sore itu, ada sesuatu yang berbeda. Seorang pria masuk dengan langkah tergesa-gesa, menenteng payung basah, lalu melihat sekeliling kafe dengan pandangan bingung.

“Minta maaf, boleh saya duduk di sini? Tempat lain sudah penuh,” katanya sambil menunjuk kursi kosong di depan Nayla.

Nayla menoleh, mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa. Pria itu tersenyum lega dan segera duduk. Ia meletakkan payungnya di samping meja, membuat genangan kecil di lantai.

“Saya Damar,” katanya, mencoba membuka percakapan.

“Nayla,” jawabnya singkat.

Hujan di luar semakin deras, menciptakan suara gemuruh yang khas. Damar, dengan sikap santainya, mulai memesan minuman dan makanan ringan. Ia tampak nyaman, meskipun Nayla hanya menjawab pertanyaannya dengan singkat.

“Apa kamu sering ke sini?” tanya Damar.

Nayla mengangguk. “Tempat favoritku. Tenang, tidak terlalu ramai.”

Damar tersenyum. “Aku suka suasananya. Ada sesuatu yang hangat di sini, meski di luar hujan deras.”

Setelah beberapa saat, percakapan mereka mulai mengalir lebih lancar. Damar ternyata adalah seorang fotografer yang sedang mencari inspirasi untuk proyek barunya. Ia bercerita tentang perjalanannya ke berbagai tempat, tentang orang-orang yang ia temui, dan tentang bagaimana hujan selalu menjadi elemen yang ia sukai dalam foto-fotonya.

“Aku merasa hujan itu seperti perasaan manusia. Kadang lembut, kadang deras, tapi selalu membawa sesuatu yang baru setelahnya,” katanya sambil memandang ke luar jendela.

Nayla tersenyum samar. Ia tidak menyangka percakapan sederhana itu bisa membuatnya merasa sedikit lebih ringan.

Beberapa jam berlalu, dan hujan pun mereda. Damar pamit pergi, tapi sebelum pergi, ia memberikan kartu namanya. “Kalau kamu suka hujan juga, mungkin kita bisa berbagi cerita lagi.”

Hari-hari berlalu, dan Nayla tidak bisa melupakan pertemuan singkat itu. Ada sesuatu tentang Damar yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Ia akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi nomor di kartu nama itu.

Damar merespons dengan antusias. Mereka mulai sering bertemu, biasanya di kafe yang sama. Setiap kali mereka bertemu, Damar selalu membawa cerita baru. Ia menunjukkan foto-fotonya pada Nayla, menjelaskan bagaimana setiap gambar memiliki cerita di baliknya.

“Aku ingin mengambil fotomu suatu hari nanti,” kata Damar suatu sore.

“Kenapa?” tanya Nayla, setengah bercanda.

“Karena aku merasa ada sesuatu dalam dirimu yang belum sepenuhnya terlihat. Mungkin, lewat lensa kameraku, aku bisa menangkapnya.”

Nayla tertegun. Kata-kata itu menyentuh sesuatu yang selama ini ia sembunyikan.

Suatu hari, Damar mengajak Nayla pergi ke sebuah taman kota yang sepi. Langit mendung, pertanda hujan akan segera turun. Di sana, Damar membawa kameranya, bersiap menangkap momen-momen yang menurutnya istimewa.

Saat hujan mulai turun, Damar memotret Nayla yang berdiri di bawah payung. Ia meminta Nayla untuk tersenyum, lalu untuk menatap ke arah langit. Hasilnya luar biasa. Dalam setiap foto, ada kilauan emosi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Lihat ini,” kata Damar sambil menunjukkan hasil fotonya. “Ini bukan hanya gambar. Ini adalah dirimu, Nayla. Hujan membawa keindahanmu ke permukaan.”

Nayla terdiam. Air matanya mulai menggenang, bercampur dengan tetesan hujan di pipinya. “Damar, kenapa kamu melakukan semua ini?”

“Karena aku ingin menunjukkan bahwa meskipun hidupmu pernah terasa kelabu, selalu ada keindahan yang tersembunyi di dalamnya.”

Beberapa bulan berlalu, dan Nayla menyadari bahwa kehadiran Damar telah membawa perubahan besar dalam hidupnya. Ia yang dulu merasa hidupnya hanya berputar di lingkaran yang sama, kini merasa seperti langit yang kembali cerah setelah hujan.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, Damar mengungkapkan bahwa ia harus pergi ke luar negeri untuk proyek besar yang tidak bisa ia tolak.

“Aku tidak tahu kapan aku kembali,” katanya dengan nada berat.

Nayla mencoba tersenyum, meskipun hatinya terasa hancur. “Aku mengerti. Pergilah, Damar. Hidupmu adalah perjalanan, dan aku tidak akan menghentikanmu.”

Damar memeluk Nayla erat sebelum pergi. “Terima kasih telah menjadi hujan dalam hidupku. Kamu membawa kesegaran di saat aku hampir kehilangan arah.”

Setelah kepergian Damar, Nayla tetap melanjutkan hidupnya. Ia sering melihat foto-foto yang diambil Damar, mengingat setiap momen yang mereka habiskan bersama. Meski jarak memisahkan mereka, Nayla merasa bahwa kenangan itu cukup untuk menghangatkan hatinya.

Di setiap hujan yang turun, Nayla selalu teringat pada Damar. Ia percaya, seperti hujan yang selalu kembali, cinta mereka akan menemukan jalannya suatu hari nanti.

Post a Comment for "Hujan di Antara Kita"