Di Bawah Langit Biru
Namun, pagi itu berbeda. Tepat ketika dia tenggelam dalam pikirannya, seorang wanita dengan langkah ringan melewati jalan setapak di depannya. Wanita itu, berusia sekitar dua puluhan akhir, mengenakan gaun putih sederhana dengan rambut hitam panjang yang tergerai. Tatapannya tersapu oleh senyum kecil yang muncul di wajahnya.
“Buku apa yang sedang kamu baca?” tanyanya sambil menunjuk ke arah buku di tangan Angga.
Angga terkejut sejenak, lalu tersenyum. “Ini kumpulan puisi lama. Favorit saya.”
Wanita itu tersenyum lebih lebar. “Aku suka puisi. Boleh aku lihat?”
Angga mengangguk, menyerahkan bukunya. Dia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang menarik dalam cara wanita itu berbicara—seperti angin yang membawa kedamaian.
“Langit pagi ini indah sekali,” ucap Nadya sambil memandang ke atas. “Menurutmu, kenapa orang sering lupa menikmati hal sederhana seperti ini?”
Angga terdiam sejenak, lalu menjawab, “Mungkin karena mereka terlalu sibuk mengejar hal yang jauh, hingga lupa bahwa keindahan ada di sekitar mereka.”
Nadya mengangguk pelan. “Kamu benar. Aku juga sering lupa. Tapi, tempat ini selalu mengingatkanku.”
Sejak saat itu, Angga dan Nadya sering bertemu di taman yang sama. Mereka berbagi cerita, tawa, bahkan mimpi-mimpi yang selama ini hanya terpendam di hati masing-masing.
Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam, Nadya tiba-tiba bertanya, “Apa yang paling kamu takutkan dalam hidup, Angga?”
Angga terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Aku takut kehilangan orang yang membuatku merasa hidup.”
Tatapan Nadya melembut. “Itu hal yang wajar. Tapi, jangan biarkan rasa takut itu menghalangimu untuk mencintai.”
Kata-kata Nadya seperti angin yang menenangkan. Namun, di sisi lain, ada sesuatu di matanya yang menyiratkan kesedihan.
Nadya tersenyum lembut, tetapi ada air mata yang menggenang di sudut matanya. “Angga, aku juga mencintaimu. Tapi, ada sesuatu yang harus kamu tahu.”
Nadya menceritakan rahasia yang selama ini dia pendam. Dia mengidap penyakit jantung bawaan yang membuat hidupnya seperti bom waktu. Dokter memperkirakan usianya tidak akan panjang, dan itulah alasan dia selalu mencoba menikmati setiap momen kecil dalam hidupnya.
Angga tertegun. Hatinya terasa seperti ditikam ribuan jarum. Namun, dia segera memeluk Nadya dan berkata, “Aku tidak peduli berapa lama waktu yang kita punya. Yang penting, aku ingin ada di sisimu.”
Suatu hari, Nadya berkata, “Angga, kamu tahu kenapa aku selalu suka memandang langit?”
“Kenapa?” tanya Angga.
“Karena langit adalah pengingat bahwa segala sesuatu mungkin berubah, tapi keindahannya selalu ada. Seperti cinta kita.”
Angga menggenggam tangan Nadya erat. “Aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi.”
“Angga, terima kasih untuk segalanya. Kamu adalah bagian terbaik dalam hidupku,” bisik Nadya dengan suara lemah.
Air mata mengalir di pipi Angga. “Nadya, kamu adalah langit biruku. Aku akan mencintaimu selamanya.”
Nadya tersenyum lembut sebelum akhirnya pergi meninggalkan dunia ini.
Buku itu menjadi best-seller, menginspirasi banyak orang untuk menghargai momen-momen kecil dalam hidup dan mencintai dengan sepenuh hati, tanpa rasa takut akan kehilangan.
Angga selalu kembali ke taman kecil itu setiap minggu, duduk di bangku kayu yang sama, memandang langit biru, dan mengenang cinta sejati yang pernah mengisi hidupnya.
“Langit mungkin berubah warna, tapi cinta sejati tak akan pernah pudar,” pikirnya sambil tersenyum menatap awan yang berarak pelan.
Post a Comment for "Di Bawah Langit Biru"