Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Senja di Tepi Pantai


Senja mulai berpendar di langit pesisir, mewarnai awan dengan rona oranye yang lembut. Ombak bergulung perlahan, menyentuh pasir yang lembut sebelum kembali ke lautan yang tak berujung. Di sebuah bangku kayu di tepi pantai, Alana duduk termenung. Tangannya memegang erat sebuah buku kecil bersampul cokelat tua. Buku itu penuh dengan coretan puisi, masing-masing membawa kenangan yang sulit ia lupakan.

Dua tahun telah berlalu sejak Arga, sahabat sekaligus cinta pertamanya, pergi meninggalkan kota kecil mereka untuk mengejar mimpinya di ibu kota. Alana masih ingat jelas hari itu. Dengan tas ransel besar di punggungnya dan mimpi besar di matanya, Arga mengucapkan janji bahwa ia akan kembali. Namun, waktu berjalan, dan janji itu semakin terasa seperti bayang-bayang.

“Hai, Alana. Aku berangkat dulu, ya. Tapi, jangan lupa baca puisi-puisi yang kutinggalkan untukmu. Itu caraku tetap dekat denganmu, meski aku jauh,” katanya sambil tersenyum.

Dan kini, duduk di bawah langit senja, Alana membuka halaman favoritnya di buku itu. Bait demi bait mengalir seperti nyanyian, menggema di dalam hatinya.

"Senja, ia datang terlambat,
Namun selalu memancarkan keindahan,
Seperti cintaku, yang perlahan-lahan,
Namun abadi di antara ombak dan angin laut."

Alana menutup matanya, membayangkan wajah Arga, senyumnya, dan cara dia selalu tahu bagaimana membuatnya tertawa di tengah hari yang berat. Kenangan itu, meskipun indah, seringkali juga terasa seperti duri.

“Masih suka membaca puisi itu?”

Sebuah suara tiba-tiba terdengar, mengusik lamunannya. Alana membuka matanya, dan di hadapannya berdiri Arga, dengan kemeja putih yang berkibar tertiup angin laut. Ia tampak sedikit berbeda—lebih dewasa, lebih tegar—namun matanya masih memancarkan kehangatan yang sama.

Alana terdiam. Hatinya berdebar keras, seperti tak percaya bahwa pria itu benar-benar ada di hadapannya. “Arga?” suaranya terdengar hampir seperti bisikan.

Arga tersenyum, senyum yang selalu membuat Alana merasa tenang. “Aku kembali,” katanya pelan. “Dan aku harap masih ada tempat untukku di hatimu.”

Kata-kata itu menghangatkan hati Alana, tetapi juga membawa kebingungan. Dua tahun adalah waktu yang lama. Banyak hal bisa berubah, termasuk perasaan. Namun, saat menatap mata Arga, ia tahu satu hal: cintanya belum pernah benar-benar hilang.

“Apa yang membawamu kembali?” tanya Alana akhirnya, mencoba mengendalikan emosinya.

“Aku janji akan kembali, bukan?” jawab Arga sambil tertawa kecil. Ia duduk di samping Alana, pandangannya mengarah ke laut yang berkilauan diterpa cahaya senja. “Aku pikir aku akan menemukan semua yang kucari di kota besar. Tapi ternyata, apa yang benar-benar penting selalu ada di sini.”

Alana mengernyit. “Apa maksudmu?”

Arga menghela napas. “Aku mengejar mimpi, Alana. Aku berhasil mencapai beberapa di antaranya, tapi setiap kali aku berhasil, rasanya ada yang kurang. Aku selalu ingat kamu, pantai ini, dan semua percakapan kita. Aku sadar, mimpi yang sebenarnya adalah berbagi semuanya denganmu.”

Kata-kata itu membuat hati Alana bergetar. Ia menatap buku di tangannya, lalu kembali menatap Arga. “Tapi, kenapa butuh waktu selama ini?”

“Sama seperti senja,” kata Arga sambil tersenyum. “Keindahan sejati kadang butuh waktu untuk disadari.”

Hening melingkupi mereka sejenak. Hanya suara deburan ombak dan angin yang menjadi saksi pertemuan itu.

“Kamu tahu,” kata Alana akhirnya, suaranya nyaris berbisik, “aku hampir menyerah. Aku pikir kamu tidak akan kembali.”

Arga meraih tangan Alana, menggenggamnya dengan lembut. “Maafkan aku karena membuatmu menunggu. Tapi aku di sini sekarang, dan aku tidak akan pergi lagi.”

Mereka berbincang hingga senja berubah menjadi malam. Arga menceritakan perjalanannya—kesulitan, keberhasilan, dan bagaimana setiap malam ia selalu membaca puisi yang ia tulis untuk Alana. Ia bercerita tentang rindu yang tak pernah hilang, bahkan di tengah hiruk-pikuk kota besar.

“Dan sekarang,” kata Arga sambil menatap mata Alana dengan penuh keyakinan, “aku ingin menulis bab baru, bukan hanya di buku ini, tapi dalam hidup kita. Bersamamu.”

Alana tersenyum, air mata bahagia mengalir di pipinya. “Aku tidak pernah berhenti berharap, Arga. Meski terkadang rasanya sulit, aku selalu percaya bahwa kita akan bertemu lagi.”

Di bawah langit malam yang mulai dipenuhi bintang, mereka berdua tahu bahwa cinta mereka telah menemukan jalannya kembali. Dan di pantai itu, dengan suara ombak yang terus bernyanyi, mereka memulai babak baru dalam kisah mereka—sebuah kisah yang akan mereka tulis bersama, halaman demi halaman, dengan tinta cinta yang tak pernah pudar.

Post a Comment for "Senja di Tepi Pantai"