Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Senja di Pantai Selatan


Di ufuk barat, mentari perlahan turun, menciptakan semburat jingga di langit Pantai Selatan. Angin berhembus lembut, membawa aroma asin laut yang khas. Di tepi pantai, Aksa duduk bersandar pada batang pohon kelapa yang condong ke arah ombak. Di sampingnya, Rana tertawa kecil, wajahnya berseri-seri meski rambutnya berantakan diterpa angin.

“Senja selalu mengingatkanku pada pertemuan pertama kita,” ucap Rana sambil menatap horison.

Aksa tersenyum kecil. “Iya, waktu itu aku hampir tenggelam karena mencoba menolong anak kecil yang bahkan tidak minta ditolong.”

Rana tertawa lebih keras, menutup mulutnya dengan tangan. “Dan aku yang akhirnya melompat untuk menyelamatkanmu! Kamu payah sekali.”

Aksa mengangkat bahu, berpura-pura tidak peduli. “Tapi kalau bukan karena kejadian itu, aku mungkin tidak akan pernah bertemu kamu.”

Kata-kata Aksa membuat Rana terdiam sejenak. Ia menoleh ke arahnya, mencoba mencari kejujuran di balik senyuman lelaki itu. “Kamu tahu, Aksa,” katanya pelan, “kadang aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya membuatmu kembali ke sini setiap minggu?”

Aksa menatap Rana, matanya penuh kehangatan. “Karena aku tahu kamu di sini, menungguku.”

Rana tertawa kecil, tapi pipinya merona. “Kamu selalu pandai membuat alasan, ya?”

“Ini bukan alasan, Rana,” Aksa menjawab serius. “Pantai ini memang indah, tapi itu bukan alasan aku terus kembali. Aku kembali karena kamu. Karena setiap percakapan denganmu membuat hidupku terasa lebih berarti.”

Hati Rana berdesir mendengar pengakuan itu. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke laut, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Kamu tahu kan, Aksa, aku tidak bisa meninggalkan tempat ini?”

“Aku tidak pernah memintamu untuk pergi, Rana,” kata Aksa. “Tapi aku ingin kamu tahu, aku bersedia tinggal di sini, jika itu yang diperlukan.”

Rana menggeleng pelan, menunduk. “Hidupmu ada di kota, di balik layar komputer dan jadwal yang sibuk. Kamu tidak akan betah di sini.”

Aksa mendekat sedikit, jarak mereka hanya sejengkal. “Aku mungkin berasal dari kota, tapi hatiku sudah tertinggal di sini, bersamamu.”

Kata-kata itu membuat Rana tak bisa menahan senyumnya. Namun di dalam hati, ia tetap diliputi keraguan. Dunia mereka begitu berbeda. Aksa, dengan kehidupannya yang serba modern dan ambisi besar, kontras dengan hidupnya yang sederhana sebagai penjaga homestay di tepi pantai ini.

“Aksa,” Rana akhirnya berkata. “Aku tidak ingin menjadi alasan kamu menyerah pada impianmu.”

“Kamu bukan alasan untuk menyerah,” jawab Aksa cepat. “Kamu adalah alasan aku ingin berjuang lebih keras. Aku ingin hidup yang berarti, dan kamu adalah bagian dari itu.”

Suara ombak menjadi latar belakang bagi keheningan yang tercipta di antara mereka. Rana tahu Aksa tulus, tapi hatinya masih dihantui kekhawatiran.

“Jika kamu benar-benar serius,” kata Rana, suaranya pelan, “aku ingin kamu membuktikannya. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan.”

Aksa mengangguk. “Aku akan membuktikan, Rana. Beri aku waktu, dan aku akan menunjukkan bahwa aku tidak main-main.”

Matahari hampir sepenuhnya tenggelam, meninggalkan jejak cahaya merah di langit. Rana tersenyum kecil, hatinya sedikit lebih ringan. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ada sesuatu dalam tatapan Aksa yang membuatnya ingin percaya.

“Baiklah, Aksa,” katanya akhirnya. “Aku akan menunggu.”

Dan di bawah langit senja yang memukau, mereka duduk berdampingan, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Cinta mereka baru mulai bertunas, seperti ombak yang terus datang, tak pernah lelah menyapa pantai.

Post a Comment for "Senja di Pantai Selatan"