Dalam Rintik Hujan
Di sebuah kafe kecil yang hangat di sudut kota, Naya duduk sendirian di dekat jendela besar yang menghadap ke jalanan basah. Rintik hujan menari di kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang menenangkan. Di tangannya ada cangkir cokelat panas, uapnya naik perlahan, menyebarkan aroma manis yang membuat hatinya sedikit lebih ringan.
Tapi pikirannya tak tenang. Sejak pagi, ia gelisah. Pikirannya dipenuhi oleh seseorang yang sudah lama tak ditemuinya—Raka. Pria yang pernah menjadi bagian penting dari hidupnya, sebelum akhirnya menghilang tanpa jejak.
“Kenapa aku terus memikirkannya?” gumam Naya pelan sambil menyeruput cokelatnya. Ia menggeleng, mencoba mengusir bayangan tentang Raka.
Namun, seolah semesta punya rencana lain, bel pintu kafe berbunyi. Naya menoleh secara refleks, dan matanya membelalak. Di sana, berdiri Raka, mengenakan mantel panjang berwarna hitam, rambutnya sedikit basah oleh hujan.
Hati Naya berdebar hebat. Ia ingin berpaling, pura-pura tidak melihat, tapi tatapan mereka bertemu. Raka tersenyum, senyum hangat yang masih ia kenal. Dengan langkah mantap, pria itu mendekatinya.
“Boleh aku duduk di sini?” tanya Raka pelan.
Naya mengangguk, meski hatinya penuh keraguan. Ia mencoba terlihat tenang, meski sebenarnya ada ribuan pertanyaan di kepalanya.
“Apa kabar, Nay?” suara Raka begitu akrab, seolah waktu tidak pernah memisahkan mereka.
“Baik,” jawab Naya singkat. Ia menatap cangkirnya, tak berani menatap langsung ke mata Raka. “Kamu? Bagaimana hidupmu?”
Raka menghela napas. “Ribet, sibuk, tapi selalu ada yang kurang.”
Naya mengangkat alis, akhirnya memberanikan diri menatap pria itu. “Apa maksudmu?”
“Kamu,” jawab Raka tanpa ragu. “Aku sadar, meninggalkanmu adalah keputusan paling bodoh yang pernah aku buat.”
Kata-kata itu membuat Naya terdiam. Ia ingin marah, ingin mengatakan betapa sakitnya ditinggalkan begitu saja. Tapi di saat yang sama, ada perasaan hangat yang perlahan memenuhi hatinya.
“Kenapa kamu pergi waktu itu?” tanyanya akhirnya, suaranya bergetar.
Raka menunduk, wajahnya penuh penyesalan. “Aku takut, Nay. Aku pikir aku perlu mencari jati diriku sebelum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Tapi aku salah. Aku sudah kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga—kamu.”
Keheningan melingkupi mereka. Di luar, hujan semakin deras, seolah ingin menutupi percakapan mereka.
“Aku tidak tahu harus berkata apa, Raka,” kata Naya akhirnya. “Aku sudah mencoba melupakanmu, tapi nyatanya tidak semudah itu.”
“Aku tidak meminta kamu untuk memaafkanku sekarang,” kata Raka pelan. “Aku hanya ingin kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku ingin membuktikan bahwa aku pantas untukmu.”
Naya menatap pria itu dalam-dalam. Ia melihat kejujuran di matanya, sesuatu yang membuat hatinya goyah.
“Bagaimana aku tahu kalau kamu tidak akan pergi lagi?” tanyanya dengan nada ragu.
Raka tersenyum tipis. Ia meraih tangannya, menggenggamnya dengan lembut. “Aku tidak akan pernah membuat kesalahan yang sama dua kali. Jika kamu memberi aku kesempatan, aku akan tinggal di sini, selamanya.”
Hujan perlahan mereda, dan sinar matahari mulai menyelinap di balik awan. Naya memandang tangan mereka yang saling menggenggam, lalu menatap wajah Raka. Ia tahu, ini bukan keputusan yang mudah. Tapi ia juga tahu bahwa perasaan yang ia simpan selama ini tak pernah benar-benar hilang.
“Baiklah, Raka,” kata Naya pelan, senyumnya perlahan muncul. “Tapi kali ini, aku ingin kamu membuktikan setiap kata yang kamu ucapkan.”
Raka mengangguk, matanya penuh keyakinan. “Aku akan melakukannya, Nay. Mulai hari ini, aku tidak akan pergi ke mana-mana.”
Dan di kafe kecil itu, dengan aroma cokelat panas dan hujan yang mulai reda, mereka memulai kembali cerita yang pernah terhenti. Sebuah awal baru, dengan hati yang penuh harapan.
Post a Comment for "Dalam Rintik Hujan"