Cinta di Balik Kabut
Pagi itu, kabut tebal menyelimuti desa kecil di lereng gunung. Udara dingin menusuk kulit, namun Nadira tetap berjalan perlahan menapaki jalan setapak menuju perkebunan teh. Di tangannya ada sekeranjang kecil berisi bekal untuk seseorang yang telah menunggu—Ravi, pria yang selalu membuat harinya terasa hangat meski dalam dinginnya kabut.
Nadira tahu bahwa hubungannya dengan Ravi bukanlah sesuatu yang mudah. Ravi, seorang fotografer yang datang ke desanya untuk mendokumentasikan keindahan alam, adalah seseorang yang berasal dari dunia yang berbeda. Sementara itu, Nadira adalah gadis desa yang sederhana, mencintai tanah kelahirannya, dan sulit membayangkan hidup di tempat lain.
Namun, sejak pertemuan pertama mereka beberapa bulan lalu, ada sesuatu yang berbeda. Ravi dengan mudah membuatnya merasa istimewa. Dengan senyuman yang tulus dan cara pandangnya yang mempesona, Ravi berhasil membuka hati Nadira, yang selama ini selalu tertutup rapat.
Ketika Nadira sampai di puncak bukit, Ravi sudah ada di sana, duduk di atas batu besar dengan kamera di tangannya. Dia mengenakan jaket tebal dan syal berwarna abu-abu yang melilit lehernya. Nadira tersenyum kecil melihat Ravi sibuk mengambil gambar hamparan kebun teh yang masih diselimuti kabut.
“Kamu datang tepat waktu,” Ravi menyapanya tanpa menoleh, tapi Nadira tahu dia tersenyum.
“Aku selalu datang tepat waktu, Ravi,” jawab Nadira sambil duduk di sampingnya. Ia membuka keranjang bekalnya dan mengeluarkan termos berisi teh hangat.
Ravi meletakkan kameranya dan menerima cangkir yang diberikan Nadira. “Kau tahu? Aku selalu merasa bahwa kabut di sini seperti misteri. Tapi mungkin, misteri terindah yang pernah kutemukan di desa ini adalah kamu.”
Nadira tersenyum malu, pipinya memerah meski udara di sekeliling mereka begitu dingin. “Kamu selalu pandai merangkai kata. Apa itu kebiasaan fotografer?”
Ravi tertawa kecil. “Mungkin itu kebiasaan orang yang sedang jatuh cinta.”
Nadira terdiam. Kata-kata Ravi membuat hatinya berdebar. Ia tahu Ravi tulus, tapi di saat yang sama, ada ketakutan yang menyelimutinya. Ketakutan akan kenyataan bahwa Ravi suatu saat harus kembali ke kota, meninggalkan desa ini, meninggalkan dirinya.
“Ravi,” kata Nadira pelan, menatap ke arah kebun teh yang terbentang di depan mereka. “Apa yang akan kamu lakukan setelah proyekmu selesai?”
Ravi menoleh, menatap Nadira dengan serius. “Aku belum memikirkan itu. Yang aku tahu, aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Tidak ingin meninggalkanmu.”
Nadira menghela napas. “Tapi kamu tidak bisa tinggal di sini selamanya. Hidupmu ada di kota, di tempat yang penuh dengan peluang besar untukmu.”
Ravi meraih tangan Nadira, menggenggamnya erat. “Tapi peluang itu tidak berarti apa-apa jika aku tidak bisa berbagi denganmu. Nadira, aku bisa bekerja di mana saja, tapi hatiku sudah tertinggal di sini, bersamamu.”
Kata-kata Ravi membuat air mata menggenang di mata Nadira. Ia ingin percaya pada Ravi, tapi realita terlalu sulit untuk diabaikan.
“Lalu, bagaimana jika suatu saat kamu merindukan hidupmu di kota? Bagaimana jika kamu menyesal?” Nadira bertanya, suaranya bergetar.
Ravi menggeleng. “Aku tidak akan menyesal, Nadira. Setiap foto yang aku ambil di sini, setiap langkah yang aku jejakkan di desa ini, selalu mengingatkanku bahwa kebahagiaan tidak hanya soal tempat atau pekerjaan. Kebahagiaan adalah tentang siapa yang kita pilih untuk menemani perjalanan hidup kita.”
Nadira terdiam, mencoba mencerna kata-kata Ravi. Hatinya yang ragu mulai luluh. Ia menyadari bahwa cinta Ravi bukan sekadar kata-kata manis. Ravi bersedia meninggalkan kenyamanan hidupnya demi sesuatu yang lebih bermakna.
“Aku tidak ingin menjadi alasan kamu mengorbankan terlalu banyak,” kata Nadira akhirnya.
“Kamu adalah alasanku untuk menjadi lebih baik,” Ravi menjawab dengan tegas.
Matahari perlahan muncul dari balik kabut, menyinari kebun teh yang hijau segar. Nadira menatap Ravi yang tersenyum, wajahnya terlihat begitu damai.
“Baiklah,” kata Nadira, suaranya pelan tapi penuh keyakinan. “Jika kamu bersedia berjuang untuk ini, maka aku juga akan berjuang. Kita akan mencari cara untuk menjadikan ini mungkin.”
Ravi tersenyum lebar, lalu memeluk Nadira dengan erat. “Aku janji, Nadira. Aku tidak akan membiarkan apapun memisahkan kita.”
Kabut perlahan menghilang, seperti memberi jalan bagi sinar matahari yang hangat. Di puncak bukit itu, di antara kebun teh yang indah, cinta mereka mulai menorehkan babak baru. Sebuah cinta yang sederhana, namun penuh keberanian untuk melawan segala rintangan.
Post a Comment for "Cinta di Balik Kabut"