Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bunga yang Mekar di Musim Hujan


Hujan deras mengguyur kota kecil itu sejak pagi, membuat jalanan basah dan udara terasa dingin. Di sebuah kedai kopi kecil di sudut jalan, Ardi duduk menunggu seseorang yang sejak beberapa minggu lalu mulai mengisi hatinya.

Ia memandang keluar jendela kaca yang buram oleh embun, matanya mencari sosok Nisa—gadis yang pertama kali ia temui di perpustakaan umum. Saat itu, Nisa sedang asyik membaca buku tentang seni melukis, sementara Ardi hanya mampir untuk mencari tempat yang tenang.

Ketika Nisa akhirnya tiba, ia masuk dengan membawa payung biru yang sudah setengah rusak oleh angin. Senyum kecil tersungging di bibirnya saat ia melihat Ardi. “Maaf, aku terlambat. Hujannya deras sekali.”

“Tidak masalah,” jawab Ardi sambil berdiri dan menarik kursi untuk Nisa. “Aku senang kamu bisa datang.”

Mereka memesan dua cangkir kopi hangat dan memulai obrolan seperti biasa. Nisa, dengan antusiasme yang khas, menceritakan lukisan barunya—sebuah pemandangan sawah di musim penghujan. Sementara itu, Ardi mendengarkan dengan penuh perhatian, kagum pada semangat Nisa yang begitu hidup.

“Aku selalu merasa, hujan itu seperti pengingat,” kata Nisa tiba-tiba, matanya menatap ke arah luar. “Ia membawa kehidupan, membuat tanaman tumbuh, dan... kadang membawa kenangan.”

Ardi tersenyum kecil. “Kenangan apa yang kamu maksud?”

Nisa terdiam sejenak, lalu menghela napas pelan. “Kenangan tentang orang-orang yang pernah kita sayangi. Hujan selalu mengingatkanku pada ibu.”

Ardi mengangguk, membiarkan Nisa melanjutkan.

“Ibu suka sekali melukis saat hujan. Katanya, hujan adalah waktu terbaik untuk melukiskan keindahan yang tersembunyi. Aku pikir, itu sebabnya aku selalu merasa damai ketika menggambar saat hujan turun.”

Ardi merasakan kehangatan di balik cerita Nisa. Ada kedalaman dalam dirinya yang membuat setiap percakapan menjadi begitu berarti.

“Tapi sekarang,” lanjut Nisa, “aku merasa hujan juga mengingatkanku pada kamu.”

Ardi terkejut, tapi ia mencoba menyembunyikannya. “Kenapa aku?”

“Karena kamu selalu ada setiap kali aku merasa butuh teman bicara. Seperti hujan yang selalu datang di waktu yang tepat,” jawab Nisa sambil tersenyum.

Ardi merasa dadanya menghangat. Ia tahu perasaannya pada Nisa semakin dalam, tapi ia juga tahu bahwa Nisa mungkin belum siap untuk sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.

“Nisa,” kata Ardi pelan. “Aku ingin kamu tahu, aku tidak akan pergi ke mana pun. Jika kamu butuh teman untuk berbagi cerita, aku akan selalu ada.”

Nisa menatapnya dengan mata yang berkilauan. “Terima kasih, Ardi. Kamu membuat hari-hariku terasa lebih ringan.”

Hujan masih deras, tapi di dalam kedai kecil itu, dunia terasa lebih hangat. Mereka berbicara hingga malam tiba, berbagi cerita tentang mimpi, kenangan, dan harapan.

Ardi tahu, perjalanan untuk meraih hati Nisa mungkin panjang. Tapi ia juga tahu, seperti bunga yang mekar di musim hujan, cinta sejati membutuhkan waktu untuk tumbuh. Dan ia bersedia menunggu, karena Nisa adalah bunga terindah yang pernah ia temui.

Post a Comment for "Bunga yang Mekar di Musim Hujan"