Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Surat Cinta dari Masa Lalu




Di sebuah desa kecil bernama Senja Loka, ada sebuah rumah tua di tengah hamparan ladang yang seolah tak terjamah waktu. Rumah itu milik keluarga Bima, seorang pria muda yang baru kembali ke desa setelah bertahun-tahun bekerja di kota. Bima tidak pernah berniat tinggal lama, hanya untuk menjual rumah tersebut dan melanjutkan hidupnya. Namun, satu hal mengubah segalanya.

Saat membersihkan loteng yang dipenuhi debu dan barang-barang tua, Bima menemukan sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran bunga melati di permukaannya. Di dalamnya, terdapat setumpuk surat yang terikat dengan pita usang. Surat-surat itu berisi tulisan tangan halus, diawali dengan kata-kata: Untuk Cinta Sejatiku.

Pesan Tak Terduga
Rasa ingin tahu Bima memuncak. Ia mulai membaca surat-surat itu satu per satu. Isinya adalah ungkapan cinta yang begitu tulus dan indah, ditulis oleh seorang wanita bernama Naira kepada pria bernama Arsa.

"Arsa, jika kau membaca ini, berarti kau telah kembali. Aku tahu, waktu telah memisahkan kita, tapi hatiku selalu percaya bahwa cinta kita tak akan hilang meski dunia berubah."

Bima tertegun. Ia tak mengenal nama Naira atau Arsa, namun surat-surat itu membawa emosi yang begitu kuat. Siapakah mereka? Apakah mereka pernah tinggal di rumah ini?

Jejak Masa Lalu
Hari-hari Bima di desa berubah. Ia mencari tahu tentang Naira dan Arsa dari para tetua desa. Dari cerita mereka, ia mengetahui bahwa Naira adalah gadis cantik yang pernah tinggal di rumah itu sekitar 50 tahun lalu. Ia dikenal sebagai penulis puisi dan pecinta bunga melati. Sedangkan Arsa adalah pemuda desa tetangga yang bekerja sebagai pelukis.

Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka terhalang oleh keluarga yang tidak setuju. Arsa akhirnya pergi meninggalkan desa, berjanji akan kembali suatu hari nanti. Namun, ia tidak pernah kembali, dan Naira tetap menunggunya hingga akhir hidupnya.

“Rumah ini adalah saksi cinta mereka,” kata Pak Harjo, tetua desa. “Tapi mereka tidak pernah bersatu.”

Pertemuan yang Tidak Terduga
Suatu sore, Bima duduk di teras rumah dengan salah satu surat di tangannya. Ia membaca keras-keras, mencoba merasakan emosi yang dituangkan Naira dalam setiap kata.

Tanpa disadari, seorang wanita muda melintas di depan rumah. Ia berhenti dan memperhatikan Bima dengan raut penasaran. “Apa itu surat dari Naira?” tanyanya.

Bima menoleh, mendapati seorang wanita cantik dengan mata teduh berdiri di sana. “Iya. Kamu tahu tentang Naira?”

Wanita itu tersenyum. “Aku Nia, cucu keponakannya. Aku sering mendengar cerita tentangnya dari nenekku. Apa kamu menemukannya di sini?”

Bima mengangguk dan menceritakan bagaimana ia menemukan surat-surat itu. Mereka berbicara hingga senja, berbagi cerita tentang cinta yang tak pernah bersatu namun tetap hidup dalam tulisan.

Surat yang Hilang
Beberapa hari kemudian, Nia kembali membawa sebuah buku catatan tua milik Naira. Dalam buku itu, mereka menemukan puisi-puisi yang belum pernah dipublikasikan. Salah satunya adalah puisi terakhir Naira, berjudul Surat untuk Arsa.

"Arsa, jika suatu hari kau kembali, temui aku di bawah pohon melati di belakang rumah. Di sanalah hatiku akan menunggumu, meski ragaku telah pergi."

Pesan itu membuat Bima dan Nia merasa harus melakukan sesuatu. Mereka mencari pohon melati yang dimaksud, dan di sanalah mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah botol kaca kecil yang terkubur di bawah pohon, berisi surat dari Arsa.

"Naira, aku kembali, tapi kau sudah tiada. Aku minta maaf karena terlambat. Aku hanya berharap cinta kita tetap abadi, meski tak bisa bersatu di dunia ini."

Cinta Baru yang Tumbuh
Kisah cinta Naira dan Arsa menyentuh hati Bima dan Nia. Mereka berdua mulai menghabiskan waktu bersama, menjaga kenangan itu tetap hidup. Perlahan, mereka menyadari ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka—perasaan yang sederhana namun begitu hangat.

Nia membantu Bima memperbaiki rumah itu, menghidupkan kembali taman melati di halamannya. Setiap pagi, mereka berbicara tentang Naira dan Arsa, tentang bagaimana cinta sejati selalu menemukan jalannya, meski dalam bentuk yang berbeda.

Akhir yang Baru
Setahun kemudian, rumah itu berubah menjadi tempat yang indah dan penuh kehidupan. Bima memutuskan untuk tidak menjualnya. Sebaliknya, ia dan Nia membuka taman kecil di halaman rumah untuk mengenang Naira dan Arsa, lengkap dengan puisi-puisi mereka yang terpajang di dinding taman.

Di tengah taman itu, ada sebuah plakat kecil yang bertuliskan:

"Untuk cinta yang abadi, yang tak pernah mati meski waktu memisahkan. Terima kasih, Naira dan Arsa, telah mengajarkan kami arti cinta sejati."

Bima menggenggam tangan Nia di bawah pohon melati yang sama. “Sepertinya cinta Naira dan Arsa membawa kita ke sini,” katanya.

Nia tersenyum, matanya berbinar. “Dan aku bersyukur untuk itu.”

Di tengah aroma melati yang mekar, cinta baru mereka tumbuh, membawa harapan bahwa setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang indah.

Post a Comment for "Surat Cinta dari Masa Lalu"