Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Selamat Pagi, Mentari Cinta




Di sebuah kota kecil bernama Kembang Lestari, ada sebuah toko bunga mungil yang dimiliki oleh gadis bernama Anisa. Toko itu adalah warisan ibunya, tempat kenangan cinta dan harapan tumbuh bersama bunga-bunga yang mekar. Anisa mencintai setiap sudut toko itu; aroma mawar yang memenuhi udara, tumpukan buku catatan kecil penuh dengan pesanan pelanggan, dan bel kecil di pintu yang berbunyi setiap kali seseorang masuk.

Pagi itu, Anisa sibuk merangkai buket untuk seorang pelanggan tetap, seorang ibu muda yang akan merayakan ulang tahun pernikahan. Buket itu terdiri dari mawar putih, lili, dan baby's breath—kombinasi yang menurut Anisa melambangkan kesucian cinta.

Saat itulah bel pintu berbunyi. Anisa mengangkat kepala, tersenyum refleks, lalu tertegun.

Laki-laki yang berdiri di sana tampak asing, namun ada sesuatu yang familiar di matanya. Ia tinggi, dengan rambut hitam berantakan yang tampaknya tidak pernah bertemu sisir. Kemeja putihnya terlihat sedikit kusut, namun ekspresinya ramah.

“Selamat pagi,” sapa laki-laki itu. Suaranya dalam dan hangat. “Apakah toko ini menerima pesanan khusus?”

“Tentu saja,” jawab Anisa, mencoba mengembalikan fokusnya. “Buket seperti apa yang Anda inginkan?”

Laki-laki itu tersenyum, dan Anisa merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Aku ingin buket yang bisa menyampaikan pesan tanpa kata-kata. Sesuatu yang... menyentuh hati.”

Anisa terdiam sejenak. Pesanan itu terdengar sederhana, tapi ada kedalaman di balik permintaannya. “Apa ada bunga tertentu yang Anda sukai?”

“Tidak ada. Aku percaya dengan pilihanmu.”

Anisa merasa pipinya sedikit memerah. “Baiklah. Buket ini untuk siapa, kalau boleh tahu?”

Laki-laki itu tersenyum lagi, kali ini dengan tatapan yang sulit ditebak. “Untuk seseorang yang sudah lama aku cari.”

Buket Pertama
Hari berlalu, dan Anisa mulai mempersiapkan buket itu. Ia memilih mawar merah muda, simbol kelembutan dan penghargaan, dicampur dengan lavender untuk melambangkan rasa ingin tahu dan pesona. Buket itu diselesaikan dengan pita satin sederhana berwarna ungu muda.

Saat laki-laki itu kembali keesokan harinya, ia terlihat puas. “Ini sempurna,” katanya. “Terima kasih, Anisa.”

Anisa terkejut. “Bagaimana Anda tahu nama saya?”

Laki-laki itu tertawa kecil. “Nama toko ini adalah ‘Anisa’s Garden.’ Dan, kupikir kamu adalah pemiliknya.”

Anisa tertawa malu. “Oh, tentu saja.”

Ia tidak tahu apa yang lebih menarik perhatian laki-laki itu—buketnya atau dirinya sendiri.

Percakapan di Tengah Bunga
Laki-laki itu mulai sering datang ke toko. Namanya adalah Dika, seorang fotografer yang sedang mengambil gambar untuk proyek bukunya tentang bunga-bunga di berbagai daerah. Ia sering membawa kamera, memotret bunga-bunga di toko Anisa, dan terkadang, memotret Anisa juga tanpa ia sadari.

“Kenapa bunga?” tanya Anisa suatu sore.

Dika tersenyum, menatap sebuah pot mawar kuning. “Bunga itu seperti cinta. Mereka tumbuh dalam keheningan, mekar dalam waktu, dan memiliki keindahan yang hanya bisa dimengerti oleh hati.”

Jawaban itu membuat Anisa kehilangan kata-kata. Ada sesuatu yang dalam di balik caranya berbicara, seolah-olah ia berbicara dari pengalaman yang penuh makna.

Pesan dalam Buket
Suatu hari, Dika datang dengan permintaan khusus. “Aku ingin kamu membuatkan buket yang benar-benar spesial,” katanya.

“Untuk siapa kali ini?”

Dika tersenyum. “Untuk seseorang yang sangat berarti. Buket itu harus melambangkan keberanian, harapan, dan cinta yang abadi.”

Anisa merasakan sesuatu yang aneh di hatinya. Apakah Dika memiliki seseorang yang istimewa? Ia menelan ludah, mencoba menutupi rasa tidak nyaman itu, lalu mulai bekerja.

Ia memilih mawar merah, lili putih, dan iris biru. Buket itu diberi aksen daun eucalyptus, memberikan sentuhan alami yang menenangkan.

Ketika Dika datang untuk mengambil buketnya, ia memberikannya dengan hati-hati. “Semoga dia menyukainya,” kata Anisa, tersenyum kecil.

“Aku yakin dia akan menyukainya,” jawab Dika.

Namun, bukannya pergi, Dika tetap berdiri di sana, memandangi Anisa.

“Ada apa?” tanya Anisa bingung.

Dika mengulurkan buket itu. “Buket ini untukmu, Anisa.”

Pengakuan Cinta
Anisa tertegun. Ia memandang buket itu, lalu ke arah Dika. “Apa maksudnya?”

Dika menarik napas dalam-dalam. “Sejak pertama kali aku melihatmu di sini, aku tahu ada sesuatu yang istimewa. Kamu tidak hanya menciptakan buket bunga, kamu menciptakan keindahan yang menyentuh hati. Aku ingin kamu tahu, aku melihat sesuatu yang lebih indah dalam dirimu.”

Anisa merasa pipinya memanas. “Aku... aku tidak tahu harus berkata apa.”

“Tidak perlu menjawab sekarang,” kata Dika. “Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku.”

Babak Baru
Hari-hari setelah itu terasa berbeda. Anisa mulai melihat Dika dengan cara yang baru. Ia mengingat setiap senyuman, setiap kata-kata hangatnya, dan bagaimana kehadirannya membuat toko bunga kecil itu terasa lebih hidup.

Suatu pagi, saat Dika datang untuk mengambil foto terakhirnya, Anisa memberanikan diri. “Dika,” katanya pelan.

Dika menoleh, tersenyum. “Ya?”

“Aku rasa aku juga merasakan hal yang sama.”

Dika terdiam sejenak, lalu senyumnya melebar. Ia mendekati Anisa, memandang matanya dengan lembut. “Aku senang mendengarnya.”

Akhir yang Baru
Toko bunga Anisa kini tidak hanya menjadi tempat kenangan, tetapi juga awal dari cinta yang baru. Dika membantu Anisa memperluas toko, menambahkan sudut kecil untuk pameran fotografi bunga-bunga yang diabadikan Dika.

Setiap pagi, mereka bersama-sama membuka toko, menyambut pelanggan dengan senyuman yang kini lebih hangat dari sebelumnya.

“Selamat pagi, mentari cintaku,” sapa Dika suatu pagi, membuat Anisa tertawa.

Dan di tengah aroma bunga yang memenuhi udara, cinta mereka terus mekar, seperti buket-buket yang selalu mereka rangkai bersama.

Post a Comment for "Selamat Pagi, Mentari Cinta"