Lukisan Hati di Kota Tua
Langit sore Jakarta mulai berubah warna, melukiskan gradasi jingga yang indah di atas atap-atap bangunan tua. Di sebuah sudut Kota Tua, Maya memandang dengan penuh perhatian pada kanvasnya. Kuas di tangannya bergerak pelan, mengabadikan keindahan arsitektur kolonial yang berdiri kokoh di depannya.
Namun, konsentrasinya terganggu ketika sebuah suara familiar memanggil namanya. “Maya?”
Ia menoleh, mendapati Adrian berdiri tak jauh darinya. Pria itu membawa kamera di tangan, tampak seperti biasa—santai namun memikat dengan caranya sendiri.
“Adrian?” tanya Maya, suaranya memancarkan kebingungan dan kejutan.
“Aku tahu kamu sering melukis di sini. Aku cuma ingin memastikan aku bisa bertemu kamu,” kata Adrian, senyumnya samar.
Kenangan yang Tak Pernah Hilang
Adrian dan Maya adalah teman lama yang pernah berbagi mimpi tentang seni. Adrian seorang fotografer yang berbakat, sementara Maya menekuni lukisan. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, mengunjungi tempat-tempat unik untuk mencari inspirasi.
Namun, sebuah kesalahpahaman memisahkan mereka. Lima tahun berlalu tanpa kontak, dan Maya berpikir Adrian telah melupakannya.
“Aku tidak menyangka kamu akan datang,” kata Maya pelan, menurunkan kuasnya.
“Karena aku merasa harus,” jawab Adrian. “Aku tahu aku menghilang, dan aku tidak pernah menjelaskan alasanku.”
Maya menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan, tetapi tidak mengatakan apa-apa.
Sebuah Pengakuan
Adrian mengambil kursi kecil yang ada di dekat Maya, duduk di sampingnya. “Aku pergi bukan karena aku ingin menjauh darimu. Waktu itu aku merasa terlalu banyak hal yang berantakan dalam hidupku. Aku butuh waktu untuk menemukan diriku sendiri.”
Maya mendengarkan dengan hati-hati, rasa sakit lama yang sempat terpendam kembali muncul.
“Aku selalu ingin kembali, tapi aku takut kamu sudah membenciku,” lanjut Adrian. “Dan jujur saja, aku tidak pernah bisa melupakanmu, Maya.”
Maya terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata itu. “Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya?”
“Karena aku pengecut,” jawab Adrian jujur. “Tapi sekarang aku sadar, aku tidak ingin menyesal lagi. Aku ingin memperbaiki semuanya.”
Lukisan yang Belum Selesai
Maya menghela napas, lalu melihat ke kanvasnya. Lukisan itu belum selesai, seperti kisah mereka yang terhenti di tengah jalan. Ia tahu hatinya masih menyimpan rasa untuk Adrian, meskipun ia mencoba menyangkalnya selama ini.
“Adrian,” kata Maya akhirnya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa begitu saja melupakan semua luka itu. Tapi aku tahu satu hal, aku juga tidak ingin kehilanganmu lagi.”
Adrian menatapnya dengan penuh harap. “Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, Maya. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu lagi, kalau kamu mengizinkan.”
Senyum kecil terukir di wajah Maya. “Kita bisa mulai dari awal, Adrian. Tapi perlahan, seperti melukis.”
Adrian tersenyum lega, lalu mengeluarkan kameranya. “Bolehkah aku mengabadikan momen ini? Ini adalah awal baru untuk kita.”
Maya mengangguk, dan Adrian memotret dengan hati yang penuh bahagia.
Awal Baru di Kota Tua
Senja semakin memudar, digantikan oleh kerlip lampu-lampu kota. Maya dan Adrian berbicara hingga malam, berbagi cerita yang sempat hilang selama lima tahun.
Kanvas yang tadi kosong perlahan terisi, seperti hati mereka yang kini mulai terisi kembali dengan harapan.
Di Kota Tua itu, di bawah lampu jalan yang temaram, dua jiwa yang pernah terluka menemukan jalan untuk saling melengkapi. Seperti lukisan dan fotografi, mereka akhirnya menyadari bahwa meskipun berbeda, keduanya mampu menciptakan keindahan bersama.
Post a Comment for "Lukisan Hati di Kota Tua"