Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hujan dan Kopi di Tengah Malam




Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Andra duduk sendirian, memandang ke luar jendela. Hujan deras mengguyur jalanan, menciptakan melodi lembut yang mengisi kesunyian malam. Cangkir kopinya masih mengepul, aromanya bercampur dengan aroma hujan yang menyelinap masuk melalui celah pintu.

Ia hampir tidak menyadari kehadiran seseorang sampai suara yang begitu dikenalnya menyapa.

“Andra?”

Andra menoleh. Di depannya, berdiri Naya, mengenakan mantel panjang dan membawa payung yang basah. Matanya, yang selama ini selalu menjadi favorit Andra, tampak ragu namun hangat.

“Naya?” Andra berdiri, suaranya sedikit bergetar. “Apa yang kamu lakukan di sini?”

Naya tersenyum kecil. “Aku cuma butuh tempat berteduh, dan kafe ini terlihat nyaman. Tidak menyangka akan bertemu kamu.”

Mereka berdiri canggung sejenak sebelum Andra menunjuk kursi di depannya. “Duduklah.”

Percakapan yang Tertunda
Naya meletakkan payungnya di lantai dan duduk, menggigil sedikit. “Aku tidak tahu kamu masih suka ke sini.”

“Kadang-kadang,” jawab Andra, mencoba terdengar santai. “Ini tempat yang tenang untuk berpikir.”

Mereka pernah sering datang ke kafe ini. Tempat ini adalah saksi banyak malam yang mereka habiskan bersama, berbicara tentang mimpi dan rencana masa depan. Tapi waktu itu, mereka masih sepasang kekasih.

“Sudah lama sekali ya,” kata Naya, mencoba mengusir keheningan.

Andra mengangguk. “Iya, lima tahun, mungkin?”

“Empat setengah,” koreksi Naya sambil tersenyum tipis.

Kenangan yang Kembali
Andra masih ingat bagaimana hubungan mereka berakhir. Naya, dengan ambisi besarnya, memutuskan untuk pindah ke luar negeri demi kariernya. Andra tidak pernah mencoba menghentikannya, meskipun hatinya hancur. Ia ingin Naya bahagia, meski itu berarti tanpa dirinya.

“Aku dengar kamu sudah sukses sekarang,” kata Andra akhirnya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kenangan pahit itu.

Naya mengangguk. “Ya, pekerjaan berjalan lancar. Tapi aku selalu merasa ada yang kurang.”

Andra menatapnya. “Apa itu?”

Naya terdiam sesaat, lalu menatap Andra dengan mata yang penuh kejujuran. “Kamu.”

Pengakuan di Tengah Hujan
Kata-kata itu membuat Andra terdiam. Hatinya bergetar, tetapi ia tidak ingin langsung percaya.

“Naya, aku butuh waktu lama untuk melupakanmu,” kata Andra dengan suara pelan. “Kenapa sekarang kamu kembali?”

Naya menggenggam tangannya di atas meja, membuat Andra terkejut. “Aku pikir aku tahu apa yang aku inginkan, tapi aku salah. Aku kejar mimpi-mimpiku, tapi aku meninggalkan sesuatu yang jauh lebih penting. Kamu, Andra. Aku ingin memperbaiki semuanya.”

Hujan semakin deras di luar, seolah menjadi latar yang dramatis untuk momen mereka.

“Kenapa harus aku percaya lagi?” tanya Andra, matanya mencari kebenaran dalam tatapan Naya.

“Karena aku tidak akan pergi lagi,” jawab Naya tegas. “Aku di sini untuk tinggal, kalau kamu masih mau menerimaku.”

Kesempatan Kedua
Andra terdiam cukup lama. Ia memikirkan semua luka yang pernah ia rasakan, tetapi juga semua kebahagiaan yang pernah Naya bawa ke hidupnya. Hatinya tahu jawabannya, bahkan sebelum pikirannya setuju.

“Aku tidak ingin terluka lagi, Naya,” kata Andra akhirnya.

Naya tersenyum lembut, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku juga tidak ingin menyakitimu lagi. Aku berjanji.”

Andra menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, kita mulai dari awal. Pelan-pelan.”

“Pelan-pelan,” ulang Naya, seolah memastikan dirinya sendiri.

Malam yang Baru
Hujan mulai mereda, menyisakan aroma tanah yang basah. Mereka menghabiskan malam itu berbicara, seperti dulu. Gelak tawa dan senyum mengisi ruang yang sebelumnya dipenuhi keheningan.

Di tengah malam, di kafe kecil yang hangat, dua hati yang pernah terpisah menemukan jalannya kembali. Hujan mungkin membawa mereka ke tempat yang sama, tetapi cinta, yang masih ada di sana, adalah yang menyatukan mereka lagi.

Post a Comment for "Hujan dan Kopi di Tengah Malam"