Di Balik Kata yang Tak Terucap
Senja mulai merayap di langit kota, mewarnai awan dengan semburat oranye dan merah muda. Di sebuah perpustakaan kecil, Nadine sedang duduk di dekat jendela, dikelilingi buku-buku yang telah ia baca setengahnya. Perpustakaan itu adalah tempat favoritnya, tempat ia merasa tenang di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota.
Hari itu terasa berbeda. Nadine mendapati dirinya lebih sering memandangi jalanan di luar jendela daripada membaca halaman buku di tangannya. Hatinya dipenuhi oleh satu nama: Arga.
Kenangan yang Membelenggu
Tiga tahun lalu, Nadine dan Arga adalah teman dekat yang tak terpisahkan. Mereka berbagi tawa, mimpi, dan rahasia-rahasia kecil yang hanya mereka ketahui. Namun, perasaan yang tumbuh di antara mereka tidak pernah terucap. Nadine terlalu takut menghancurkan persahabatan mereka, sementara Arga memilih menyembunyikan rasa demi menjaga kenyamanan.
Hingga suatu hari, Arga pergi tanpa banyak penjelasan, mengejar karier sebagai arsitek di luar negeri. Nadine hanya bisa menahan perasaannya, menyimpannya dalam lembaran surat yang tak pernah dikirim.
Pertemuan yang Tak Diduga
Hari itu, saat Nadine sedang larut dalam pikirannya, pintu perpustakaan terbuka. Sebuah suara yang ia kenal begitu baik memecah keheningan.
“Nadine?”
Ia menoleh dengan cepat, dan di sana berdiri Arga, dengan senyum yang sama seperti yang ia ingat. Hanya saja kini, senyum itu terlihat lebih dewasa, lebih yakin.
“Arga?” Nadine hampir tidak percaya. “Kamu di sini?”
“Aku pulang untuk sementara. Aku rindu rumah, dan… aku rindu kamu.”
Kata-kata itu membuat hati Nadine berdebar. Namun, ia hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan perasaan yang kembali bermekaran di hatinya.
Percakapan yang Mengungkap Segalanya
Mereka memilih duduk di sudut perpustakaan, berbicara panjang lebar tentang hidup mereka selama tiga tahun terakhir. Nadine bercerita tentang pekerjaannya sebagai editor buku, sementara Arga menceritakan proyek-proyek besar yang ia kerjakan di luar negeri.
Namun, di sela-sela percakapan itu, ada jeda panjang yang dipenuhi keheningan. Seolah-olah keduanya tahu ada sesuatu yang lebih penting untuk dibicarakan, tetapi tidak ada yang cukup berani untuk memulai.
“Aku sering memikirkan kita,” kata Arga tiba-tiba, suaranya rendah namun mantap.
Nadine menoleh, menatap matanya yang penuh kejujuran. “Aku juga.”
Arga tersenyum tipis. “Kenapa kita tidak pernah membicarakan ini sebelumnya?”
“Karena aku takut,” jawab Nadine pelan. “Aku takut kehilangan kamu.”
“Dan aku takut mengecewakanmu,” balas Arga. “Tapi sekarang aku sadar, lebih menyakitkan kehilangan kesempatan untuk jujur.”
Pilihan Hati
Malam itu, mereka berjalan bersama di sepanjang trotoar yang basah oleh gerimis. Langkah mereka perlahan, seolah tidak ingin malam itu berakhir.
“Apa yang kamu harapkan sekarang, Nadine?” tanya Arga, menghentikan langkahnya.
Nadine menghela napas, merasa seluruh perasaan yang ia pendam selama bertahun-tahun mendesak untuk keluar. “Aku hanya ingin tahu apakah kita masih punya kesempatan.”
Arga menatapnya dalam-dalam. “Kita selalu punya kesempatan. Hanya saja, kali ini aku tidak akan menyia-nyiakannya.”
Dengan hati yang penuh keberanian, Arga meraih tangan Nadine, menggenggamnya erat. Hujan yang mulai turun semakin deras, tetapi tidak ada yang peduli.
Awal Baru di Bawah Hujan
Mereka berjalan kembali ke perpustakaan, basah oleh hujan namun dengan senyum yang menghiasi wajah mereka. Di bawah naungan lampu jalan yang temaram, Arga berkata, “Aku akan tinggal lebih lama kali ini. Bukan hanya untuk pekerjaan, tapi untuk kita.”
Nadine tersenyum, merasakan hangat di tengah dinginnya malam. Ia tahu, meski kata-kata itu terlambat terucap, cinta mereka akhirnya menemukan jalan untuk bersuara.
Di balik tumpukan buku dan hujan yang membasahi kota, cerita mereka dimulai kembali. Kali ini, tanpa keraguan atau penyesalan—hanya dua hati yang memilih untuk berjalan bersama.
Post a Comment for "Di Balik Kata yang Tak Terucap"