Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Di Antara Dua Hati




Mentari pagi mulai menembus jendela kaca apartemen kecil di sudut kota. Hana, seorang desainer grafis freelance, sedang duduk di meja kerjanya dengan secangkir kopi di tangan. Di depannya, layar laptop menampilkan ratusan email pekerjaan yang harus ia selesaikan. Namun, pikirannya melayang jauh, kembali ke masa lalu yang perlahan kembali mengetuk pintu hatinya.

Tiga bulan yang lalu, Hana menerima undangan reuni SMA yang akan digelar malam ini. Awalnya, ia tidak begitu peduli. Tapi, nama di sudut undangan itu membuat hatinya sedikit bergetar: Dikurasi oleh: Bima Wijaya.

Bima adalah sahabat sekaligus cinta pertamanya. Mereka tidak pernah benar-benar mengungkapkan perasaan, hanya ada banyak momen tak terucap yang tertinggal di masa lalu. Reuni ini akan menjadi pertemuan pertama mereka setelah sepuluh tahun berpisah.

Pertemuan yang Tak Terduga
Saat malam tiba, Hana berdiri di depan cermin mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda. Ia menatap pantulan dirinya, bertanya-tanya apakah keputusan untuk datang ke reuni ini adalah langkah yang benar. Namun, rasa penasaran lebih kuat dari kegelisahannya.

Ketika ia tiba di restoran tempat reuni diadakan, suasana nostalgia langsung menyeruak. Tawa, obrolan, dan wajah-wajah yang pernah menjadi bagian dari hidupnya menyambutnya. Namun, mata Hana segera mencari sosok yang telah ia pikirkan selama berhari-hari.

Di sudut ruangan, Bima berdiri dengan senyuman hangat, tampak lebih dewasa namun tetap memiliki aura yang sama seperti yang ia ingat. Ketika pandangan mereka bertemu, waktu seolah berhenti sejenak.

“Hana,” sapa Bima, mendekatinya dengan langkah mantap.

“Bima,” jawab Hana dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan debaran di dadanya.

Mereka berbicara dengan canggung pada awalnya, saling bertukar kabar tentang pekerjaan dan kehidupan masing-masing. Namun, perlahan, percakapan mereka mengalir lebih dalam, seolah-olah jarak sepuluh tahun tidak pernah ada.

Kenangan Lama yang Kembali
Setelah acara selesai, Bima mengajak Hana keluar untuk menghindari keramaian. Mereka berjalan menyusuri trotoar di bawah lampu jalan yang redup, membicarakan masa-masa SMA mereka.

“Aku selalu bertanya-tanya, kenapa kita tidak pernah benar-benar bicara soal apa yang kita rasakan dulu,” kata Bima tiba-tiba, menghentikan langkahnya.

Hana terdiam, menatap bayangan mereka di trotoar. “Karena aku takut. Aku takut menghancurkan persahabatan kita.”

“Aku juga,” kata Bima, suaranya pelan. “Tapi malam ini, aku sadar bahwa waktu telah memberi kita kesempatan kedua.”

Hana menoleh, menatap matanya. Ada kejujuran di sana, sesuatu yang membuat hatinya bergetar. Namun, sebelum ia bisa menjawab, suara dari belakang membuat mereka berdua menoleh.

“Hana?”

Di sana berdiri seseorang yang tidak asing bagi Hana—Raka, kekasihnya selama dua tahun terakhir.

Di Antara Dua Pilihan
Situasi menjadi rumit. Raka tidak tahu apa-apa tentang masa lalu Hana dan Bima, namun kehadirannya malam itu membawa gelombang rasa bersalah dalam hati Hana.

Selama beberapa hari berikutnya, Hana mencoba mencari jawabannya sendiri. Ia mencintai Raka, namun kehadiran Bima membuatnya mempertanyakan perasaan yang ia pikir sudah lama terkubur.

Hingga suatu sore, Hana mengundang Bima ke sebuah kafe. Ia tahu ia harus mengakhiri kebingungannya.

“Aku tidak bisa melanjutkan ini, Bima,” kata Hana dengan suara bergetar.

Bima menatapnya dengan mata penuh pengertian. “Aku tahu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Tapi aku juga mengerti jika hatimu sudah memilih jalan lain.”

“Aku tidak tahu apa yang benar saat ini,” kata Hana, air mata mulai menggenang di matanya.

“Yang benar adalah apa yang membuatmu bahagia,” jawab Bima dengan senyuman kecil.

Keputusan Hati
Hana memutuskan untuk jujur kepada Raka tentang perasaannya yang bergejolak. Ia menceritakan semuanya—tentang masa lalunya dengan Bima, tentang kebingungannya, dan tentang rasa bersalahnya.

Raka mendengarkan dengan tenang, lalu berkata, “Aku tidak ingin menjadi pilihan kedua, Hana. Tapi aku juga tidak ingin memaksamu. Pikirkan dengan matang, aku akan menunggu keputusanmu.”

Dalam keheningan malam itu, Hana merenung. Ia menimbang semua kenangan, rasa, dan harapan yang ada dalam hatinya.

Akhir yang Baru
Seminggu kemudian, Hana mengundang Bima dan Raka ke tempat yang sama—restoran kecil tempat reuni itu diadakan. Ia tahu ini adalah cara terbaik untuk mengungkapkan keputusannya.

“Aku ingin berterima kasih kepada kalian berdua,” kata Hana, suaranya terdengar mantap. “Kalian telah mengisi hidupku dengan cara yang berbeda, tapi aku harus memilih.”

Ia menatap Raka dengan lembut. “Aku memilih untuk melanjutkan apa yang telah kita bangun bersama. Aku ingin melihat masa depan kita, bukan hanya kembali ke masa lalu.”

Raka tersenyum lega, sementara Bima hanya mengangguk dengan pengertian. “Aku berharap kalian bahagia, Hana,” katanya sebelum pamit.

Melangkah ke Depan
Hari-hari berlalu, dan hidup Hana kembali tenang. Ia tahu keputusannya adalah yang terbaik untuk semua pihak. Hubungannya dengan Raka menjadi lebih kuat, karena kini ia tahu bahwa cinta sejati adalah tentang keberanian untuk melangkah ke depan, bukan hanya terjebak di antara kenangan.

Namun, ia tetap menyimpan rasa hangat untuk Bima—bukan sebagai cinta, tetapi sebagai kenangan indah yang mengajarkannya arti keberanian untuk memilih.

Post a Comment for "Di Antara Dua Hati"