Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cinta di Balik Jendela Toko Buku




Hujan turun perlahan, menciptakan pola melankolis di jendela toko buku kecil milik Raka. Ia berdiri di balik meja kasir, matanya terpaku pada halaman novel yang tengah ia baca. Sesekali, ia melirik ke luar, memandangi jalanan basah yang sepi.

Di antara pengunjung yang datang dan pergi, ada satu yang selalu menarik perhatiannya. Gadis itu, dengan rambut hitam panjang dan kacamata bundar, sering duduk di pojok toko, tenggelam dalam buku-buku klasik. Ia selalu membeli secangkir kopi sebelum menghilang ke dalam dunia cerita, meninggalkan aroma manis yang tetap tercium bahkan setelah ia pergi.

Hari ini, seperti biasanya, ia datang lagi.

“Pagi, Mas Raka,” sapanya lembut, senyumnya kecil tapi hangat.

“Pagi juga, Nia,” balas Raka, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. “Kopi seperti biasa?”

Nia mengangguk. “Ya, terima kasih.”

Percakapan yang Dimulai oleh Buku
Sore itu, hujan tidak kunjung reda. Toko semakin sepi, menyisakan hanya mereka berdua. Nia masih duduk di tempat favoritnya, memegang buku yang tampaknya sudah terlalu sering ia baca.

“Kamu suka buku itu?” tanya Raka, memberanikan diri menghampirinya.

Nia mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. “Oh, ini? Aku sudah membaca ini berkali-kali. Tapi setiap kali, rasanya selalu berbeda.”

Raka tersenyum. “Klasik memang punya cara untuk membuat kita berpikir ulang tentang hidup.”

“Kamu juga suka buku-buku klasik?” tanya Nia.

“Sangat suka,” jawab Raka sambil duduk di kursi di seberangnya. “Toko ini, sebenarnya, adalah mimpi lamaku. Aku ingin orang-orang bisa menemukan dunia yang baru di balik setiap halaman.”

Mereka berbicara selama berjam-jam, tentang buku, kehidupan, dan hal-hal kecil yang mereka sukai. Hujan di luar menjadi latar musik yang sempurna untuk percakapan mereka.

Rasa yang Mulai Tumbuh
Sejak hari itu, hubungan mereka berubah. Nia datang lebih sering, dan Raka selalu menanti kedatangannya dengan hati yang berdebar. Mereka berbagi cerita, tawa, bahkan diam bersama di sela-sela pembicaraan.

Namun, Raka selalu ragu untuk mengungkapkan perasaannya. Ia takut menghancurkan kebersamaan yang telah mereka bangun. Di sisi lain, Nia pun merasakan hal yang sama, tetapi memilih menyimpan perasaannya.

Pengakuan di Bawah Hujan
Pada suatu sore, ketika toko hampir tutup, hujan kembali turun deras. Nia masih duduk di kursinya, menatap ke luar jendela dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Raka, mendekatinya.

Nia mengangguk, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Raka merasa khawatir.

“Aku akan pergi,” kata Nia tiba-tiba.

Raka tertegun. “Pergi? Ke mana?”

“Aku diterima bekerja di luar kota. Aku akan pindah minggu depan,” jawab Nia pelan, matanya menghindari tatapan Raka.

Hati Raka seakan hancur mendengar kabar itu. Tapi ia tahu, ini mungkin kesempatan terakhirnya untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan.

“Nia,” kata Raka, suaranya bergetar. “Aku tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat, tapi aku tidak ingin menyesal. Aku menyukaimu.”

Nia menatapnya, terkejut, tetapi perlahan senyumnya muncul. “Aku juga menyukaimu, Raka. Sejak lama.”

Hujan di luar semakin deras, tetapi di dalam toko kecil itu, hati mereka terasa hangat.

Akhir yang Baru
Meski Nia harus pergi, mereka memutuskan untuk mencoba menjalani hubungan jarak jauh. Cinta mereka, yang tumbuh perlahan di balik tumpukan buku, telah menemukan jalannya.

Setiap hari, Raka menulis surat untuk Nia, dan setiap akhir pekan, Nia mengunjungi toko buku itu lagi, seolah ia tidak pernah pergi.

Hujan mungkin menjadi awal dari cerita mereka, tetapi cinta mereka adalah apa yang membuat kisah itu abadi. Di balik jendela toko buku kecil itu, dua hati menemukan arti kebahagiaan.

Post a Comment for "Cinta di Balik Jendela Toko Buku"